Selasa, 06 Agustus 2013

Cerita Ikan Upahrui

Pada jaman dahulu tersebutlah seorang wanita, yang bernama Rarlay, menikah dengan seorang laki-laki bernama Rettiau. Mereka bermarga Wetgai. Kemudian mereka dikaruniai dua orang anak, yang sulung bernama Rettiau Lay sedangkan yang bungsu bernama Rettiau Ruru. Karena ayah mereka bernama Rettiau maka mereka dipanggil Rettiau Ruru dan Rettiau Lay. Tetapi sesungguhnya yang sulung bernama Lay dan yang bungsu bernama Ruru. Mereka dipelihara sampai dewasa. Suatu hari mereka membuat sebuah perangkap ikan bersama ayah mereka. Pada suatu hari Rarlay, ibu kedua anak itu, sakit dan ia tidak mau makan dan minum. Ia berkata kepada suaminya, "Saya harus makan hati ikan hiu supaya saya bisa sembuh. Jadi suruhlah kedua anak kita pergi ke tempat perangkap ikan (sero batu)." Lalu kedua anak itu pun pergi ke tempat perangkap ikan dan mereka memperoleh seekor ikan hiu. Mereka harus membawanya pulang. Tetapi karena mereka tidak membawa parang, maka yang sulung menunggui ikan hiu itu sedangkan yang bungsu pulang mengambil parang. Ketika adiknya pergi mengambil parang, hiu itu berbicara dan berkata kepada yang sulung itu, "Kalau kamu sayang saya, tolong lepaskanlah saya supaya saya boleh pulang ke duniaku. Jika pada suatu hari nanti kau berlayar dan mengalami kesulitan, panggillah saya dan saya akan membantumu, aku akan menolongmu, aku akan memeliharamu." Lalu yang sulung pun melepaskan ikan hiu itu. Ketika adiknya datang kembali dengan membawa parang, ikan hiu itu sudah tidak ada. Lalu adiknya bertanya, "Kakak, di manakah ikan hiu itu?" "Hiu itu telah kulepaskan," jawabnya. Lalu keduanya pun pulang ke rumah mereka. Setibanya di rumah, ibu-bapak mereka bertanya, "Di mana hasil kalian?" "Kami tidak mendapat apa-apa. Perangkap ikan itu tidak memperoleh sesuatu," mereka berbohong. Serta-merta ibunya menjadi marah, katanya, "Kedua anak ini pembohong dan penipu. Saya tahu ada ikan hiu yang tertangkap, makanya kamu datang mengambil parang untuk memotong-motongnya. Tetapi sesungguhnya kamu telah melepaskan ikan hiu itu dan mendustai aku, jadi sekarang ini kamu berdua harus dibunuh." Lalu dia berkata kepada suaminya untuk membunuh kedua anak itu, "Jangan biarkan mereka hidup karena mereka telah membohongi dan menipu kita." Ayahnya menyayangi kedua anaknya ini, tetapi dia harus menuruti keinginan istrinya. Karena itu dia membuat perbekalan; dia membuat ketupat untuk kedua anaknya. Diajarinya kedua anaknya, katanya, "Malam ini kalian harus lari!" Waktu malam tiba, ayah menggosok parangnya sampai tajam sekali. Setelah itu dia pergi mengambil dua batang pisang dan mengisi air di dalam dua tempurung dan meletakkannya di atas tempat tidur. Kedua anak itu pun tidur dan pada tengah malam dia membangunkan mereka supaya mereka melarikan diri dan dibagi-bagikannya mereka ketupat. Lalu mereka lari. Kemudian si ayah mengambil parang dan memotong putus satu batang pisang serta menumpahkan satu tempurung air. Istrinya berkata, "Itu baru kalian rasa, anak-anak yang tidak takut pada orang tua." Kemudian suaminya mengambil lagi parang dan memotong batang pisang yang lain serta menumpahkan tempurung air yang satu lagi. Dan istrinya berkata lagi, "Itu baru kamu rasa, mati, mampuslah!" Sementara itu kedua anak itu pun keluar dan larilah mereka. Ayah mereka berpura-pura mengambil air dan membersihkan tempat tidur seakan-akan ia sedang membersihkan darah. Kedua anak itu pun lari dengan membawa perbekalan dan berjalan terus-menerus sepanjang malam sampai menjelang tengah hari. Ketika mereka merasa lapar yang sulung membuka ketupatnya supaya keduanya makan. Ternyata ketupatnya berisi abu. Lalu yang bungsu berkata, "Kakak, coba kita buka ketupatku." Waktu dibuka, ternyata ketupat si bungsu berisi jagung, lalu makanlah mereka. Sesudah makan, mereka meneruskan perjalanan. Kemudian mereka bertemu dengan seekor burung yang disebut burung barat (burung garuda). Lalu yang sulung melempar burung itu dengan batu, berulang-ulang dilemparnya tetapi tak bisa kena. Walaupun selalu salah lemparannya, burung itu pun tidak terbang juga. Lalu yang bungsu berkata, "Kakak, coba aku yang lempar." Yang bungsu melemparnya dengan batu dan lemparannya kena dan burung itu pun jatuhlah. Lalu yang bungsu mengambil biji matanya dan ditelannya. Pikirnya, biji mata bisa berikan dia kekuasaan. Lalu keduanya meneruskan perjalanan. Mereka terus berjalan sampai tiba pada jalan yang bercabang. Satu cabang menuju ke kiri, sedangkan yang satu lagi menuju ke kanan. Yang sulung mengikuti jalan ke kiri sedangkan yang bungsu mengikuti jalan ke kanan. Tidak lama berjalan, anak yang sulung menemukan orang yang membuat barang-barang emas. Lalu ia melamar pekerjaan di situ dan diterima. Sementara itu, yang bungsu berjalan terus mengikuti jalan ke kanan. Lalu didapatinya pohon beringin dan dipanjatnya dan tinggal di atas. Ternyata ada sebuah sumur di bawah pohon beringin itu. Kemudian datanglah seorang nenek dari Mnietu untuk menimbah air. Sementara dia menimbah air, anak ini mengambil buah beringin dan melemparkannya ke dalam timbah itu. Nenek itu berkata, "Ah burung-burung ini tega mengotori air ini." Lalu ditumpahkannya air itu dan ditimbahnya lagi. Ketika nenek itu menimbah air lagi anak ini mengambil buah beringin dan menjatuhkannya lagi ke dalam timbah. Nenek itu pun berkata lagi, "Burung-burung ini tega mengotori air." Lalu ditumpahkannya lagi. Begitu terus-menerus sampai tiga kali sehingga nenek itu pun melihat ke atas. Dilihatnya anak itu lalu katanya, "Hei, cucu dari manakah kau? Turunlah. Aku tak punya anak maupun cucu jadi ikutlah dan tinggal bersamaku. Aku akan memeliharamu." Lalu anak ini pun turunlah dan bersama-sama mereka pulang. Setelah tiba, diceritakannya tentang ibu dan bapaknya. Lalu nenek itu berkata, "Kita berdua tinggal bersama-sama di sini. Lagi pula aku tak punya anak-anak, biarlah kita dua tinggal bersama." Lalu keduanya tinggal di situ sampai anak itu menjadi besar. Namun dia menderita suatu penyakit yang menjijikkan. Pada suatu hari anak itu mendengar bahwa kakaknya bekerja membuat barang-barang dari emas. Lalu ia berkata kepada neneknya, "Nenek, aku akan pergi melihat tukang emas itu." Lalu neneknya berkata, "Ya, cobalah pergi lihat." Dalam perjalanan si bungsu mengambil daun koli dan membentuknya seperti burung barat yang pernah dilemparinya bersama kakaknya. Burung ini akan diberikan kepada kakaknya supaya kalau kakaknya melihat burung itu ia akan mencari tahu, siapa yang memberikan burung barat daun koli itu? Dengan tanda ini dia berharap kakaknya bisa mengingat dia kembali. Tetapi ketika kakaknya melihat burung barat daun koli itu, serta-merta diambilnya dan dibuatkan emas tanpa menanyakan siapa pemilik burung daun koli itu. Lalu pulanglah adiknya dan berkata kepada neneknya, "Nenek, aku membuat burung barat supaya kakakku bisa mengenal aku, tetapi karena dia sudah kaya raya maka dia melupakan aku. Diambilnya saja burung barat itu dan dibuatkan emasnya." Lalu neneknya berkata, "Mau bilang apa, dia sudah kaya, sehingga dia melupakan engkau." Keduanya tinggal bersama-sama di sana sampai pada suatu hari ada berita dari Melai-Watkali (Timor), katanya Raja Melai-Watkali sedang membuat sayembara teka-teki dan siapa yang dapat memecahkan teka-teki itu akan dinikahkan dengan salah seorang dari keenam anak perempuannya. Lalu kakak Rettiau Lay merencanakan berlayar ke sana untuk meminang salah satu dari anak marga Melai-Watkali, bila dia dapat menerka teka-teki itu. Awak perahu pun ada satu dua yang ikut. Ketika adik Rettiau Ruru mendengar hal itu, ia berkata kepada neneknya, "Nenek, saya ingin ikut menumpang ke Melai-Watkali." Neneknya berkata, "Cucu jangan pergi ke sana karena dia itu orang kaya yang hendak pergi mencari istri. Dan kau mau ikut lagi?" Katanya, "Nenek, saya harus pergi. Saya tidak pergi mencari istri, tetapi saya pergi ke sana untuk lihat-lihat saja." Lalu neneknya menjawab, "Kalau begitu kau boleh menumpang untuk pergi ke sana." Lalu dia pergi minta menumpang dan diterima, katanya, "Aku tidak pergi mencari istri, tetapi aku pergi untuk melihat pulau-pulau saja." Ia diijinkan untuk berlayar bersama-sama, tetapi harus tinggal di bagian bawah di tempat pengeringan air. Dia terpaksa tinggal di situ supaya tidak dilihat oleh orang lain karena penyakitnya itu. Lalu berangkatlah mereka. Waktu tiba di Melai-Watkali, kakaknya dan beberapa awak turun ke darat. Waktu di darat mereka diberi hidangan. Sesudah itu orang Melai-Watkali berkata, "Ya, benar. Anak-anak kami boleh menikah dengan kamu, asal saja kamu dapat menerka teka-teki (cigulu) ini." Lalu marga Melai-Watkali mengambil sebuah bambu yang beruas enam dan dikikis sampai licin sehingga tak bisa diketahui orang ujung dan pangkal ruasnya. Lalu mereka menyuruh dia untuk menerka. Dia menerka tetapi tidak benar. Kemudian marga Melai-Watkali menyuruh membawa enam ekor anak babi, lalu mereka berkata, "Coba kamu terka yang mana anak babi yang sulung, yang mana yang tengah, dan yang mana yang bungsu." Lalu diterkanya tetapi terkaannya salah; mereka tidak tahu. Lalu raja pun berkata lagi, "Apakah tidak ada orang lagi?" "Ya, tidak ada orang, tidak ada seorang pun yang tinggal di perahu lagi." Lalu raja mengatakan, "Kalau ada orang tolong panggilkan kemari." Ada orang yang memberitahukan, "Hei, ada seorang lagi tetapi dia luka-luka." Lalu raja berkata, "Walaupun dia luka-luka dia adalah manusia. Jadi panggillah dia, mungkin saja dia dapat menerka teka-teki ini." Raja pun menyuruh orang memanggilnya. Seorang laki-laki pergi memanggil orang di perahu itu, "Hei, turunlah engkau." Lalu turunlah ia. Kemudian katanya, "Saya pergi lebih dulu, tetapi harap cepat menyusul." Lalu orang yang di perahu menggantikan pakaiannya yang buruk itu dan turun ke darat. Waktu tiba di pintu gerbang, dijumpainya seorang nenek. Nenek ini bernama Puilioi-Romloi. Nenek ini berkata kepadanya, "Cucu, mau ke mana?" "Nenek, raja memanggil saya ke sana. Ada sesuatu yang hendak dikatakan kepada saya." Lalu nenek ini berkata kepadanya, "Cucu, kalau kau pergi untuk menerka teka-teki ruas bambu yang enam itu dan enam ekor anak babi, pergilah menerkanya, sampai di sana lihat saja kalau lalat biru hinggap di salah satu ujung bambu itu, itulah bagian pangkal bambu itu. Begitu terus-menerus sampai ke ujung bambu itu. Anak-anak babi pun demikian halnya. Lihat saja, kalau lalat biru bertengger pertama kali pada seekor b`abi, itulah anak babi yang sulung. Hinggap lagi pada yang berikut, itulah anak babi yang kedua dan seterusnya sampai anak babi yang bungsu. Ikuti saja di mana lalat biru itu hinggap." "Baiklah." Lalu pergilah ia. Waktu tiba di sana, dia disuruh duduk. Sesudah itu raja berkata, "Mereka semua telah menerka teka-teki ini tetapi salah. Jadi tinggal kau sendiri. Jika kau dapat menerkanya, kau akan menikah dengan seorang dari anak-anakku." Lalu mereka pergi mengambil bambu enam ruas itu dan sesudah itu dilihatnya lalat biru hinggap di salah satu ujung bambu itu dan langsung dia berkata, "Inilah pangkal bambu, ini ruas tengah bambu, dan ini ujung bambu." Lalu dimintanya pula untuk menerka anak-anak babi yang enam itu. Dilihatnya saja anak babi yang mana yang dihinggapi lalat biru, lalu katanya, "Inilah anak babi yang sulung." Lalat biru hinggap lagi pada yang kedua, "Inilah anak babi yang kedua." Lalat biru itu pun hinggap lagi pada yang tengah, "Ini yang tengah." Demikian seterusnya sampai pada yang bungsu. Dengan demikian ia telah menerka semua teka-teki. Lalu raja berkata, "Tebakanmu benar, keenam anak perempuanku itu akan datang dan kau pilih siapa yang kau suka. Tetapi tebak dulu keenam orang itu yang mana yang sulung, yang mana yang tengah, yang mana yang bungsu dan bila kau tepat menebaknya barulah kau boleh kawin dengan salah satu diantara mereka." Lalu dijajarkan anak-anaknya ini tetapi tak berurutan, yang bungsu duluan, yang sulung, kemudian yang tengah dan lain-lain. Lalu ditebaknya dilihatnya lalat biru hinggap pada konde salah seorang diantara mereka, dia berkata, "Inilah anak yang sulung." Kemudian lalat biru terbang dan hinggap lagi pada konde yang kedua dan ia berkata, "Inilah anak yang kedua." Lalu lalat biru terbang lagi dan bertengger lagi pada konde yang lain maka katanya, "Inilah yang tengah." Begitu seterusnya sampai yang terakhir. Lalu raja berkata, "Kau sudah dapat menebak semua teka-teki itu. Jadi anakku yang mana yang kau sukai?" Lalu dijawabnya, "Yang bungsu." Lalu dikawininyalah yang bungsu itu. Sesudah menikah dengan yang bungsu ini mereka pun mengepak barang-barang dan kembali ke pulau Luang. Tetapi anak raja ini tidak bisa minum air kecuali air kelapa muda. Lalu dimuatnya beberapa buah kelapa muda di perahu. Dimuatnya pula tenda agar anak raja itu terlindung di atas perahu. Sementara itu kakaknya Rettiau Lay telah memikirkan akal busuk untuk merampas isteri adiknya, sebab hatinya sakit terhadap adiknya. Lalu turunlah mereka ke perahu dan berlayarlah. Sementara berlayar, nahkoda yaitu kakaknya ini memerintahkan anak perahu, katanya, "Sembunyikan semua parang dan pisau, taruh saja sebuah kapak di luar. Tetapi kapak ini pun kamu buat agak longgar supaya jika dipakai untuk membelah kelapa akan mudah terlepas." Lalu semua awak perahu menyembunyikan semua parang dan pisau. Sebuah kapak ditinggalkan di luar. Sementara berlayar dan tiba di lautan lepas puteri raja itu pun hauslah, dan disuruhnya melubangi kelapa untuk diminum. Disuruhnya suaminya meminta parang atau pisau untuk dipakai melubangi kelapa itu. Awak kapal bilang pisau dan parang tidak ada, kecuali sebuah kapak ini dan boleh dipakai untuk melubangi kelapa. Lalu diangkatnya kapak dan ketika hendak melubangi kelapa di dalam perahu, kakaknya berkata, "Janganlah kau kotori perahuku ini, kerjakan di pinggir perahu." Lalu dia pun pergi ke pinggir perahu. Pada waktu mengangkat kapak untuk melubangi kelapa, kapak itu pun terlepaslah dan jatuhlah ke dasar laut. Serta-merta kakaknya berkata kepadanya, "Kau harus pergi mengambil kapakku itu sebab aku tidak menuntut uang dan barang-barang emas sebagai ganti kapak itu maka kau harus pergi mengambilnya dari dasar laut." Adiknya pun diam saja sampai malam hari dia pun berkata kepada istrinya, "Sebentar ini aku akan pergi dan mengambil kapak itu." Dan waktu dia bicara diambilnya cincin istrinya dan dipakainya. "Jika sekiranya Tuhan memelihara aku, aku akan kembali. Tetapi jikalau aku mengalami kematian apa boleh buat. Ikut sajalah awak perahu ini untuk pergi dan jika nanti aku hidup baiklah engkau menantikan daku sampai aku kembali, tetapi jika tidak, apa boleh buat." Dia pun pergi ke belakang perahu. Pada waktu hampir siang ketika fajar muncul di sebelah timur ia pun berseru kepada Tuhan matahari besar, mustika moyang purbakala, dikatakannya dalam bahasa Melayu, ia berdoa kepada Tuhannya. Diambilnya sebuah batu dari dalam perahu kemudian diangkatnya ke atas dan berserulah ia kepada Tuhan, "Ya Tuhanku, Tuhan Mahabesar, mustika moyang purbakala, sekarang ini aku berseru dan memohon kepadaMu miringlah telingaMu dan bukalah mataMu dan dengarlah seruku, permohonanku. Sekarang ini aku pergi menyelam ke dalam lautan yang luas dan air yang dalam ini. Jadikanlah batu ini sebagai ganti diriku. Jika engkau memelihara daku sampai aku kembali biarlah batu yang kulemparkan ke dalam laut ini tetaplah mengapung. Tetapi jika aku pergi dan mengalami kematian biarkanlah batu ini tenggelam." Serta-merta dilemparkannya batu itu ke dalam laut dan ternyata batu itu mengapung. Lalu diambilnya batu itu dan bersumpah lagi, "Ya Tuhanku, aku menyeru dan memohon lagi kepadaMu. Jika benar-benar aku akan mati dalam dasar laut ini biarlah batu ini tenggelam seperti isi parang dan batu hitam yang tenggelam. Tetapi jikalau aku hidup dan Engkau akan memelihara daku sampai aku kembali ke pulau negeriku, biarlah batu ini mengapung." Maka dijatuhkannya lagi batu itu, batu itu pun mengapung lagi. Diambilnya pula batu itu dan bersumpah untuk ketiga kalinya seperti itu juga. Ternyata batu itu tetap mengapung. Lalu ia terjun ke dalam laut. Waktu menyelam ke dalam laut dia berada pada pucuk sebuah pohon beringin maka dituruninyalah beringin itu ke bawah dan setelah sampai ada seorang nenek sedang menenun di bawah pohon beringin. Serta tiba di ucapkannya kalwedo (selamat) kepada nenek itu. Maka dengan kaget nenek itu bertanya, "Cucu, kau dari mana? Kau datang untuk apa?" "Jalan-jalan saja nenek." Lalu keduanya pun saling bercerita. Selanjutnya ditanyakannya nenek ini, "Nenek, tidakkah nenek mendengar sesuatu yang jatuh di sini, berbunyi di sini?" Lalu jawabnya, "Cucu, aku tak pernah lihat sesuatu, cuma aku mendengar ada sesuatu yang berbunyi di rorok ayam (tempat ayam bertelur). Coba kau tengok, jangan sampai ada di sana sebab ayam sudah turun." Lalu ia pergi ke sana dan dilihatnya kapak itu ada di dalam rorok ayam. Lalu diambilnya dan berkata, "Nenek, sudah ada ini. Ini kapak dan sudah kudapat." Lalu diambilnya dan ditaruhnya di gulungan cawatnya. Dia dan nenek itu saling bercerita, kemudian dia berkata, "Nenek, aku mau pulang." Lalu nenek itu berkata, "Tunggu dulu, aku akan panggil semua ikan, apakah mereka bersedia mengantarkan engkau." Dipanggilnya semua ikan, separuh diantaranya berkata, "Kami tidak bisa naik, kami tidak bisa mengapung." Lalu dipanggilnya ikan duyung dan duyung berkata, "Aku belum mau muncul." Dipanggilnya ikan hiu, namun ikan hiu berkatakan, "Aku belum mau muncul, tetapi aku dengar bahwa ikan layar (todak) bermaksud ke atas. Jadi coba panggilkan dia dan tanyakan." Lalu dipanggilnya ikan todak itu dan ketika sampai iapun bertanya, "Engkau mau pergi ke atas?" Lalu ikan todak itu menjawab, "Ya, aku mau pergi ke permukaan air." "Jika engkau pergi mengapung ke atas, baiklah bersama-sama laki-laki ini. Jagalah dia dan bawahlah dia kembali ke kampung halamannya. Jika kau pergi, ikutilah apa yang dikatakannya, apa saja yang dikatakannya. Jagalah dia agar hidup dan selamat sampai tiba di kampung halamannya." Lalu Ia berpamit dengan nenek itu dan naik ke atas punggung ikan layar, dan ikan layar pun membawanya ke permukaan . Nenek itu bernama Rarilmietma-Rarlelkialwa. Lalu ikan layar dan Rettiau Ruru mengapung di permukaan laut, mengapung di antara pulau Timor dan pulau Kisar. Ketika timbul di antara dua pulau ini, ikan layar itu menghadap ke selatan untuk menguji coba kekuatannya terhadap bagian ujung timur pulau Timor dan memotong ujung tanjung sehingga terpisah, tanjung ini disebut dengan Nohmehi. Di sana ikan layar itu mencoba kekuatannya. Lalu ia berbalik menuju pulau Kisar dan Kisar bergoyang. Oleh karena itu gunung Kisar berada di pinggiran pulau sedangkan negeri berada di tengah pulau. Lalu ia menuju ke utara ke pulau Roma dan merusakkan sebelah barat pulau Roma sehingga menyebabkan pulau Nohyata terpisah dari Roma. Lalu ia berbalik ke Nohametam dan dihabiskannya Nohametam, kemudian melanda Maupora dari Roma. Lalu Rettiau Ruru menegurnya, "Cukup sudah, bukan pulau ini. Coba kita menuju ke selatan." Lalu mereka menuju ke selatan, ke Leti. Sesudah tiba di Leti, Rettiau Ruru mengatakan, "Ini juga bukan dia." Lalu orang Leti takut dan mengatakan, "Jangan rusakkan pulau ini, bila orang dari Luang datang ke sini kami akan memberi mereka makan ikan dan minum sageru (sejenis minuman keras)." Oleh sebab itu Leti dinamakan Tun I'ina Kalorni, yang artinya kita makan ikan mentah dengan sageru. Kemudian keduanya datang lewat Moa lalu Rettiau Ruru mengatakan, "Ini juga bukan." Kemudian ke Lakor. Ketika tiba di Lakor, Lakor menjadi takut dan tunduk ke bawah, sehingga Lakor tidak memiliki gunung. Lalu Rettiau Ruru bilang menuju ke utara. Keduanya pun menuju ke utara, ke pulau Damar. Waktu tiba di Damar dia pun merusakkan Damar. Sesudah itu, Rettiau Ruru berkata, "Cukuplah sebab ini bukan pulau Luang." Lalu mereka menuju ke selatan. Sementara menuju ke selatan, Rettiau Ruru mengatakan, "Ini dia pulauku, kita sudah tiba di Luang. Berlabuh dulu di sini dan aku turun untuk menjenguk nenekku." Pada malamnya ia datang mengetuk pintu rumah neneknya, lalu nenek berkata, "Siapakah engkau? Cucuku telah mati dan hilang di lautan lepas sehingga janganlah kamu datang mempermainkan aku." Lalu cucunya, Rettiau Ruru, berkata kepadanya, "Nenek, inilah aku. Betul aku ini yang telah datang. Jadi bukalah pintu." Lalu neneknya membukakan dia pintu dan masuklah ia ke dalam. Kemudian diceritakannyalah pada neneknya apa yang terjadi, bahwa mereka menipu dia. Lalu dia bertanya, "Di manakah mereka?" Lalu nenek menceritakan, "Keduanya sudah kawin dan mereka sedang mengadakan pesta pernikahan. Malam ini keduanya dinikahkan." Lalu Rettiau Ruru berkata, "Nenek ambillah cincinku ini dan pakailah lalu pergilah dan di sana, nenek pura-pura mengupas buah parna." (Sebab dulu orang tidak memakai lampu, orang cuma membuat buah parna yang bergagang. Biji kesambi, biji jarak ditumbuk, dicampur dengan kapuk. Lalu ditumbuk lagi, dililitkan pada bambu atau kayu baru di bakar. Dibakar supaya kalau orang datang mereka membuka lilitan itu dan mengeluarkan arangnya). Nenek itu pura-pura pergi ke sana untuk mengikis-ngikis arang buah parna di muka perempuan itu, agar jarinya yang bercincin itu kelihatan oleh perempuan itu. Lalu nenek itu pun pergilah. Di sana dia menunggui buah parna dan membuka-bukanya di muka perempuan itu. Dan ketika perempuan ini melihat cincin itu maka tunduklah ia. Tentu saja dia berkata dalam hatinya, "Ini cincinku." Tetapi tidak berkata apa-apa dan tunduk terus. Setiap kali nenek itu menguliti buah parna perempuan itu melihat cincinnya, lalu tunduk. Terus-menerus begitu sampai tiga kali. Karena tidak berkata apa-apa juga, maka nenek itu pun pulanglah. Nenek itu kembali dan menceritakan hal ini kepada cucunya. "Cucu, waktu aku pergi ke sana, aku menguliti buah parna dan dia melihat cincin itu tetapi dia tunduk, tidak mengatakan sesuatu pun sampai tiga kali maka aku kembali. Dia telah melupakan engkau cucuku. Sebab dia kawin dengan orang kaya dan telah melupakanmu. Jadi janganlah engkau mengingat dia lagi." Lalu Rettiau Ruru berkata, "Nenek, baiklah aku pergi. Aku pergi dan nanti nenek akan lihat." Lalu datanglah ia dan naiklah ke atas punggung ikan layar itu. Kemudian dia berkata kepada ikan layar itu katanya, "Sekarang ini putuskanlah pulau ini. Rusak porandakanlah pulau ini agar pulau ini menjadi kecil sehingga tidak akan disebut-sebut lagi namanya. Porak-porandakanlah dia." Lalu ikan layar itu berkata, "Kalau begitu, berpegang erat-eratlah padaku. Peganganmu harus ketat padaku sebab aku akan merusak pulau ini." Kemudian dipegangnya erat-erat punggung ikan layar itu barulah ia meloncat. Waktu loncatan pertama dia menghantam Metutun, kemudian menghantam Dona, Liakra, lalu menghantam lagi Kpuri, Tiata. Pada waktu itu Luang bergetar dan berguncang. Karena guncangan itu semua orang menjadi takut dan mulai mengungsi ke pulau-pulau lain. Mereka meninggalkan pulau ini, ada yang pergi ke pulau Seram, ada yang pergi ke Papua, dan ke pulau-pulau berdekatan lainnya maka kosonglah pulau ini. Kemudian neneknya pun menjadi takut juga. Neneknya mengatakan, "Aduh, ini perbuatan cucuku. Nanti dia akan menghancurkan pulau ini jadi lebih baik aku menemui dia." Maka turunlah neneknya. Nenek ini turun ke tanjung Gain Tutun. Pada waktu itu, ikan layar ini sementara meloncat menuju selatan dan waktu dia berbalik untuk menghadap Tiata supaya diputuskannya Tiata dan kemudian menghantam kembali pulau besar neneknya telah berada di Gain Tutun. Jadi pada waktu ikan layar mau berbalik dan menghadap Tiata nenek pun makan sirih dan memohon dengan mengiba kepada ikan layar itu dan lagu ratapannya untuk menghentikan ikan layar itu begini: Aku bernama dara Surriai, bernama dara Surriai ei,Aku bernama putri Lelriai ne, Aku bernama dara Surriai,datang berdiri di ujung pasir ei, Aku bernama putri Lelriai,datang tegak di ujung tanjung ne, Aku datang tegak di ujung pasir memohon kepada upa srui ei,Aku datang tegak di ujung tanjung mengiba pada anak ikan ne, Aku memohon kepada upa srui, jangan merusak pulau ei,Aku mengiba kepada anak bulana, jangan menghancurkan bumi ne, Jangan merusak pulau, tinggalkan satu tanjung ei,Jangan menghancurkan bumi, tinggalkan satu irisan ne, Tinggalkan satu tanjung untuk aku tempati ei,Tinggalkan satu irisan untuk aku diami ne, Aku bernama dara Surriai ei,Aku bernama putri Lelriai ne. Lalu dikeluarkannya ampas sirih dari dalam mulutnya dan dilemparkannya pada ikan layar itu. Pada saat itu ikan layar itu pun mengering menjadi batu. Nenek itu pun menjadi batu, dan sampai sekarang batu-batu itu masih ada di Gain Tutun sementara menunduk ke bawah. By ; Mark Taber